Bicara tentang kehidupan berbangsa bernegara maka kita wajib bicara tentang Konstitusi, hukum dasar negara yang merupakan pucuk dan puncak dari seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Konstitusi kita adalah UUD 1945 yang telah mengalami perubahan sesuai amanat reformasi 1998 yang menuntut demokratisasi.
Dalam UUD 1945, Partai Politik (Parpol) disebut dua kali yaitu:
1. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemiluhan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
2. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.
Artinya secara peran dan posisi Parpol menjadi sangat eksklusif, strategis dan signifikan. Hanya Parpol sebagai organisasi yang diakui Negara dapat berpartisipasi dalam agenda-agenda politik Negara seperti Pemilihan Umum (Pemilu). Hanya Parpol sebagai organisasi yang diakui Negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melahirkan kader-kader kepemimpinan nasional untuk tingkat pusat dan daerah di seluruh Indonesia.
“Di tangan” Parpol-lah kualitas para calon pejabat politik ditentukan. Hal-hal yang terkait dengan karakter kepemimpinan, wawasan kebangsaan, pemahaman sejarah perjalanan dan perjuangan bangsa, nasionalisme, kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, serta penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi dan kualitas Keimanan Ketaqwaan kepada Tuhan YME menjadi syarat bagi para calon pemimpin politik tersebut.
Peran utama Parpol ini yang harus kita jaga, kita kawal dan kita pelihara bersama sebagai konsekuensi pilihan sebagai negara demokrasi. Wujud nyata negara demokrasi adalah “kedaulatan berada di tangan rakyat” diimplementasikan dengan kemerdekaan rakyat untuk berkumpul dan berserikat. Ketika rakyat berkumpul dan berserikat dalam bentuk selain Parpol (misal LSM) maka hasilnya akan sekedar opini. Tapi ketika rakyat berkumpul dan berserikat dalam wujud ”Mesin” Parpol maka hasilnya akan berdampak nyata pada sistem demokrasi yang kita jalankan, kehidupan kita berbangsa bernegara.
Tugas dan fungsi Parpol diatur dalam UU Parpol yaitu fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, sosialisasi, edukasi, komunikasi, dan rekrutmen politik, secara komprehensif dijamin dan diberikan oleh negara. Pemberdayaan rakyat yang terpilih, yang memiliki kualitas untuk tampil menjadi calon-calon pemimpin bangsa. Ini adalah bukti sahih bahwa negara menempatkan Parpol sebagai agen penentu masa depan bangsa, bukan yang lain. Parpol adalah poros utama, motor penggerak bagaimana negara ini menuju janji dan cita proklamasi kemerdekaan kita.
Pertanyaan mendasarnya, apakah Parpol masih kita butuhkan? Apakah Parpol kita anggap sebagai aset Negara? Sudahkah kita merawat dan menjaga Parpol sehat? Pedulikah kita kepada Parpol? Seperti apa sikap kita terhadap Parpol? Masihkah kita konsisten terhadap konstitusi yang menempatkan Parpol agen penentu masa depan bangsa? Mau diapakan Parpol di Indonesia? apa gagasan kita tentang parpol? mungkinkah demokrasi tanpa Parpol?
Dalam berbagai survey oleh lembaga-lembaga survey nasional, organisasi Parpol ditempatkan pada posisi yang sangat buruk. Parpol tidak lagi dipandang sebagai penunjang harapan rakyat. Parpol dilihat sebagai sumber masalah, membuat kegaduhan, menggangu kepentingan umum, tidak bekerja, tidak berfungsi, tidak simpatik, tidak memikirkan rakyat, identik dengan korupsi dan lain sebagainya. Semua ditampilkan secara hitam-putih, parpol buruk, tanpa ada pendidikan kepada publik tentang betapa parpol itu eksklusif, strategis dan signifikan bagi kehidupan kita berbangsa bernegara.
Persepsi buruk tersebut semakin masif dampaknya karena media massa baik cetak, elektronik maupun online justru menyorot dan mempublikasikan dari sisi negatif nya, trial by the press. Padahal, media massa (pilar keempat demokrasi) seharusnya berperan penting dalam kehidupan demokrasi sesuai konstitusi dengan mengawal dan mengingatkan Parpol agar demokrasi Pancasila kita nyata terwujud, kehidupan berbangsa bernegara kita kondusif.
Sangat disayangkan pula respons civil society terhadap kondisi-kondisi tersebut. Civil society dengan berbagai kepakaran keilmuannya seharusnya berperan aktif untuk memberikan saran, masukan dan solusi untuk perbaikan kondisi Parpol tersebut. Misal dengan menciptakan gerakan publik untuk merawat, menjaga dan mengawal Parpol menjadi sehat. Itu bisa menjadi komitmen civil society terhadap konstitusi, kepada demokrasi Pancasila.
Namun yang terjadi justru pihak-pihak tersebut melakukan pengkerdilan dan penistaan terhadap organisasi Parpol yang membawa dampak terhadap delegitimasi dan demoralisasi, tanpa solusi. Bagi mereka negara bisa berjalan tanpa parpol tanpa parlemen.
Pada saat yang sama, kondisi ini dimanfaatkan karena terbuka peluang untuk mendorong person-person civil society untuk bergerak ke depan mengejawantah diri menjadi perwakilan dan mengklaim atas nama rakyat sebagai pihak yang paling bersih dan paling benar. “Kegenitan” untuk ikut masuk ke dalam sistem negara tanpa lelah keringat dan tanpa komitmen membangun dan memelihara Parpol dimulai.
Civil society pada kelompok-kelompok masyarakat atau LSM yang bergerak di bidang pemberantasan korupsi tampil paling depan dan membuat Parpol dan parlemen menjadi bulan-bulanan atas beberapa kasus korupsi. Lalu kasus tersebut di generalisir, dianggap semua Parpol dan anggota parlemen adalah koruptor. Padahal para aktivis pegiat anti-korupsi itu bisa lebih baik, misal dengan melakukan kajian dan FGD tentang pembenahan sistem pengawasan dan sistem pencegahan bagi Parpol dan parlemen agar anti korupsi. Namun justru para aktivis tersebut menjadikannya momentum untuk “mengeroyok” Parpol dan parlemen. Seraya bertepuk dada bahwa mereka adalah pihak yang paling berjasa bagi bangsa dan negara.
Pada perkembangan terkini, praktek-praktek delegitimasi, demoralisasi oleh Civil Society penggerak dan penggiat anti korupsi yang semula hanya ditujukan ke Parpol dan parlemen semakin diperluas menyasar ke lembaga-lembaga Negara lainnya. Saat ini hampir tidak ada satupun lembaga Negara yang memiliki landasan konstitusional karena termuat dan tercantum dalam UUD 1945 yang tidak terdegradasi terdemoralisasi dengan praktek-praktek seperti itu. Berita besar-besaran, bahkan secara “live” disajikan ketika lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sedang menghadapi permasalahan. Semua dihakimi opini.
Kembali pada judul, bagaimana menjelaskan fenomena adanya perampokan atas fungsi Parpol, terutama dalam hal rekrutmen politik?
Gerakan ini sangat terstruktur, sistematis dan massif. Sejumlah LSM penggerak dan pegiat pemberantasan korupsi, media massa tertentu dan KPK saling berkoalisi menjadikan pemberantasan korupsi sebagai “panggung” dengan menerapkan pola pilih tebang terhadap kasus-kasus korupsi dan berhitung mana yang meningkatkan nilai tawar mereka dan mana yang bisa melemahkan lawan-lawan mereka.
Gerakan tersebut juga mereka maksudkan sebagai pesan bagi publik bahwa “kami berfungsi lebih” dan “kami bisa memuaskan anda”. Dan tentu menargetkan adanya pergeseran persepsi pada publik bahwa lembaga KPK dan koalisinya adalah sebagai representasi rakyat pemegang kedaulatan. Dengan kata lain, meminggirkan Parpol untuk membuka ruang dan jalan agar dapat masuk “merangsek” menggantikan peran Parpol dihadapan publik.
Bagi penganut aliran kepercayaan rating, dengan “menggebuk” Parpol dan lainnya yang ratingnya rendah tentu akan menaikan rating dirinya dihadapan publik. Dan secara otomatis dengan legitimasi opini publik yang kuat maka pihak iklan atau sponsor akan mendukung segala kepentingan si rating tinggi tersebut.
Menggunakan label terpopuler ,“terpercaya” dan “terbersih”, KPK dan koalisinya seakan mendapatkan legitimasi untuk apa pun kapan pun dan dimana pun dalam kehidupan berbangsa bernegara kepada siapa pun. Imej KPK yang dibangun sebagai institusi pemegang kedaulatan kebenaran dan lembaga “superbody”, membuat siapa pun yang mengkritisi KPK akan divonis sebagai pelindung koruptor dan menjadi tidak populer dan dibully (rating jatuh).
Ini yang dimaksud “Perampokan” bahwa pengisian jabatan yang seharusnya menjadi fungsi peran partai-partai politik, pada kenyataannya KPK dan koalisinya ikut bermain masuk dan mengisi dalam politik. Tidak perlu disebutkan nama dan jabatan tapi dapat ditelusuri yang awalnya Civil Society penggerak dan penggiat antikorupsi, saat ini mereka duduk pada jabatan-jabatan publik di pemerintahan seperti eksekutif, yudikatif, lembaga negara dan BUMN. Saat ini banyak alumni KPK atau LSM anti korupsi itu beredar di jabatan-jabatan pemerintahan.
Bahkan bagaimana tidak bisa dikatakan bermain politik, jika unsur pimpinan KPK pada periode tertentu berminat menjadi calon Wakil Presiden, otomatis perilakunya akan berbeda alias genit.
Kita juga bisa melihat pansel-pansel yang dibentuk untuk pengisian jabatan-jabatan publik, selalu saja melibat sejumlah nama yang berkolaborasi dengan KPK dan koalisinya. Sejumlah “tekanan” untuk sejumlah pihak dan lembaga apabila tidak berkesesuaian dengan keinginan KPK dan koalisinya, bahkan jadi menteri harus clearing KPK (spidol merah –spidol hitam). Ini jelas bentuk intervensi terhadap kewenangan lembaga negara.
Dalam konteks negara demokrasi memang dijamin kemerdekaan berpendapat, tapi ketika yang bicara adalah aparat penegak hukum maka menjadi mencurigakan. “Kegenitan” dan perilaku arogan atas dasar popularitas hanya akan membuat negara ini gaduh tanpa solusi. Indonesia jalan ditempat pada saat Negara lain sudah terbang ke bulan.
Berdasarkan fakta dan realita tersebut, saya mengingatkan seraya mengajak semua pihak terkait untuk, Mari Bicara, tentang komitmen kita terhadap demokrasi, tentang konsistensi kita terhadap pilihan negara demokrasi dan tentang konsekuensi kita sebagai negara demokrasi.
Mungkinkah demokrasi di Indonesia tanpa Parpol? Walaupun sepantasnya ketika kita hidup di alam demokrasi (Pancasila) tentu kita juga wajib untuk merawat dan memelihara pilar utama demokrasi itu sendiri (Parpol). Semoga Tuhan YME senantiasa bersama kita para anak bangsa yang setia pada cita proklamasi.
Komentar