Jakarta, liputan.co.id – Pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Research, Pangi Syarwi Chaniago mempertanyakan konsistensi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebagai pembela hak-hak asasi manusia (HAM).
Pertanyaan Pangi tersebut terkait dengan sikap YLBHI yang mencoba mengoreksi peristiwa G30S PKI.
“YLBHI perlu kembali ke khittah sebagai pejuang HAM rakyat, jika penelusuran Peristiwa G30S/PKI berujung pada pembelaan HAM untuk partisan PKI. Sebab korban keganasan dan pembantaian PKI juga perlu dibela HAM-nya, termasuk tujuh jenderal sebagai Pahlawan Revolusi,” kata Pangi, kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (20/9/2017).
Sejarah mencatat, lanjut Pangi, YLBHI Jakarta yang didirikan oleh Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada 1969 dipelopori Adnan Buyung Nasution dan Toety Herati Rooseno itu dilembagakan pejuang hak-hak rakyat miskin tergusur, terpinggirkan, dan di-PHK. Belakangan LBH ini sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan otoriter rejim Orde Baru.
“Memang di zaman Presiden ke-2 Soeharto, era Orde Baru, jargon-jargon anti-PKI muncul bahkan film keganasan PKI menjadi lagu wajib tontonan setiap 30 September. Di sini, YLBHI sah-sah saja men-cap adanya pelanggaran HAM terhadap warga PKI. Tetapi juga jangan dilupakan adanya pelanggaran HAM terhadap warga bukan PKI oleh PKI,” kata Pangi.
Jadi pinta Dosen UIN Syarif Hidayatullah, YLBHI harus kembali ke khittah sebagai pejuang pembela HAM. “Jangan pembela HAM versi rezim melainkan nilai universal kemanusiaan,” tegasnya.
Awal Januari 1950 Pemerintah RI disaksikan puluhan ribu masyarakat dari berbagai daerah seperti Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo dan Trenggalek, membongkar tujuh Sumur Neraka PKI.
Di Sumur Neraka Soco I ditemukan 108 kerangka mayat dimana 68 dikenali, sedang di Sumur Neraka Soco II ditemukan 21 kerangka mayat dan berhasil diidentifikasi. Para korban berasal dari kalangan Ulama dan Umara serta tokoh masyarakat.
Komentar