Jakarta. liputan.co.id – Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi perhatian serius dalam rapat kerja antara Komisi III DPR RI dengan KPK.
Di kalangan anggota Komisi Hukum DPR itu, OTT menyisakan banyak persoalan. Selain itu, yang menjadi sorotan adalah tugas pencegahan tindak pidana korupsi KPK yang dinilai belum maksimal. Jika pencegahan korupsi berjalan efektif maka OTT bisa jadi tidak banyak terjadi.
Pada OTT yang sudah direncanakan oleh KPK dipastikan telah diketahui oleh KPK. Jika KPK menjalankan fungsi pencegahan secara baik, maka tindakan korupsi bisa dicegah lebih dini. Apabila sudah diketahui jauh-jauh hari tapi sengaja dibiarkan sampai terjadi tindakan pidana korupsi maka diduga KPK sengaja membiarkan rencana korupsi, dan menjebak agar terjadi OTT.
Anggota Pansus Angket DPR terhadap KPK, Arteria Dahlan mempertanyakan mekanisme OTT. Dia menegaskan jangan sampai OTT yang dilakukan KPK malah tebang pilih. Politikus Fraksi PDI Perjuangan ini menekankan pemberantasan korupsi tidak boleh menjebak.
“Atas dasar apa bapak melakukan OTT, sehingga kami tidak menyangka bahwa bapak melakukan tebang pilih. Kenapa yang lain tidak di-OTT? Siapa yang mengontrol dan mengawasi, apakah salah satu dari komisioner mengawasi? Ini namanaya penjebakan,” kata Arteria, di Ruang Rapat Komisi III DPR, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan Selasa (26/9/2017).
Dalam rapat yang sama, sebelumnya anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil menyampaikan, soal OTT ini berawal dari laporan-laporan yang kemudian ditingkatkan dalam operasi. Dia mempertanyakan jika sudah diketahui sebelumnya, kenapa tindakan korupsi tidak dicegah?
“Dalam konteks penyadapan yang saya kaitkan dengan pencegahan, apakah kemudian ketika ada laporan misalnya bahwa ada kemudian biasanya laporan itu dilaporkan oleh orang dekat, apakah tidak ada upaya untuk melakukan tindakan pencegahan?,” tanya Nasir.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga beranggapan bahwa OTT tidak bisa menghilangkan tindakan koruptif. OTT lanjutnya, hanya bersifat meredakan sementara. Bahkan dia menganalogikan OTT seperti obat sakit kepala yang dapat dibeli di warung.
“OTT itu seperti orang minum paramex, hanya meredakan, tidak menyembuhkan. Saya katakan bukan berarti saya tidak menghargai. Saya nilai OTT itu hanya orang yang sakit kepala minum obat, tapi hanya meredakan, tidak menyembuhkan,” tegas Nasir.
Nasir mengesankan bahwa KPK benci terhadap koruptor, tidak pada korupsi. Menurutnya dua hal tersebut sangat berbeda. Idealnya penegakan hukum mengutamakan pemberantasan perilaku kejahatan, baru setelah itu menindak pelakunya. “Yang mereka ingin berantas itu kejahatan bukan pelakunya,” imbuh Nasir.