Roundtable Discussion The Yudhoyono Institute, AHY Soroti Lima Isu Hangat di Asia Pasifik

Ragam111 Dilihat

LIPUTAN.CO.ID, JAKARTA – The Yudhoyono Institute menggelar Roundtable Discussion dengan tema “Geopolitik dan Keamanan Asia Pasifik: Apa Peran Indonesia?” di Graha Bimasena Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu (20/9).

Dalam diskusi tersebut, Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku tuan rumah, juga bertindak sebagai moderator bagi 18 pembicara yang berasal dari kalangan akademisi dan pakar di bidang keamanan dan ekonomi.

Hadir sebagai pembicara antara lain, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, Wagub Lemhannas Masrda TNI Bagus Puruhito, Tenaga Profesional Bidang Diplomasi dan Hubungan Internasional Lemhannas Masrda TNI (Purn) Surya Darma,

Selain itu, hadir pula mantan Dubes RI untuk Australia Teuku Hamzah Thayeb, Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Laksda TNI Amarulla Octavian, Ketua Departemen Ilmu FISIP UI Julian Aldrin Pasha, Rektor Universitas Paramadina Prof. Firmanzah, dan mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.

Sebelum memulai sesi diskusi, AHY menyampaikan paparan singkat mengenai kondisi kawasan dan lima isu utama yang memanas di Asia Pasifik akhir-akhir ini, yaitu konflik di Semenanjung Korea, tragedi kemanusiaan Rohingya di Myanmar, sengketa laut Cina Selatan, peran ASEAN, dan isu Belt Road Initiative oleh pemerintah Tiongkok.

“Kami mengangkat topik utama yang tengah hangat diperbincangkan oleh masyarakat dunia dewasa ini, yaitu geopolitik dan keamanan Asia Pasifik. Tentu kita juga akan mendiskusikan apa relevansi dari itu semua terhadap negeri kita tercinta, serta bagaimana sikap dan apa peran yang harus dijalankan oleh Indonesia as one of the key players in the region,” kata AHY.

Maksud dan tujuan dari Roundtable Discussion ini, lanjut AHY, juga adalah untuk mendapatkan pemahaman secara mendalam terhadap berbagai isu geopolitik, keamanan, serta ekonomi di kawasan Asia Pasifik untuk kemudian menjadi bahan kajian.

“Bagi kami, TYI, dimana outputnya adalah produk-produk rekomendasi strategis yang mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap stakeholders termasuk policy-making circles,” imbuhnya.

Roundtable discussion yang terbagi dalam dua sesi ini berlangsung tertutup. Usai diskusi, AHY menggelar jumpa pers yang menjelaskan mengenai kesimpulan diskusi tersebut.

“Diskusi yang kami selenggarakan sejak tadi pagi sangat menarik, sangat dinamis. Hasil dari diskusi ini diharapkan bisa menjadi implikasi secara langsung maupun tidak langsung dan menghadirkan berbagai peluang sekaligus tantangan yang harus kita antisipasi dan harus kita siapkan bersama sebagai bangsa,” ujar AHY.

Secara umum, kata AHY, perubahan landscape politik, ekonomi, dan juga sosio kultural yang terjadi di kawasan Asia Pasifik. Dimana semua harus mampu memahami semua realitas itu dengan cermat, serta bisa mempersiapkan diri untuk dapat mengubah tantangan menjadi peluang untuk kemajuan Indonesia.

“Tentunya terhadap situasi yang terjadi akhir-akhir ini kita ingin hadir sebuah konsensus bersama bahwa hanya dengan kawasan yang aman, stabil, dan damai, baik di Asia Pasifik maupun khususnya di Asia Tenggara. Maka, kita semua bisa membangun kawasan yang semakin makmur untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya,” jelas AHY.

Sementara itu, untuk tragedi Rohingya yang menjadi sorotan dunia, AHY meminta untuk menyikapi permasalahannya secara bijak. “Kami TYI juga memiliki sikap bahwa harus segera dihentikan tragedi kemanusiaan ini dan juga harus segera disalurkan berbagai bantuan kemanusiaan untuk bisa membantu saudara-saudara kita yang harus mengungsi ke Bangladesh dan negara-negara tetangga lainnya,” terang AHY.

AHY juga menjelaskan, bahwa salah satu rekomendasi TYI untuk masalah Rohingya adalah pengamat perdamaian. “Rekomendasi kami adalah kemungkinan yang baik adalah mengirimkan pengamat perdamaian yang bersifat independen,” ungkap AHY.

Pengamat tersebut tidak harus berada di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bisa bekerja di balik layar. Tujuannya untuk memastikan apakah kejadian di Myanmar betul-betul sesuai dengan pemberitaan yang ada, namun harus tetap menghormati prinsip non-intervensi yang berlaku.

“Pernah terjadi di Aceh, Aceh Monitoring Mission. Diundang sejumlah former military officer dari beberapa negara di ASEAN untuk mengamati situasi di Aceh ketika sedang berkecamuk,” pungksanya. (Yul)

Komentar