Jakarta, Liputan.co.id – Sabtu, 28 Oktober 2017, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda. Meski Sumpah Pemuda telah berhasil mempersatukan kebhinekaan sebagai bangsa, namun Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai persatuan itu masih perlu diteguhkan terus-menerus, sesuai tema peringatan Sumpah Pemuda tahun ini adalah “Berani Bersatu”.
“Semua elemen bangsa harus menyadari jika persatuan butuh dirawat. Dulu, tantangan untuk membangun persatuan adalah perbedaan suku, adat, agama dan bahasa. Namun, dengan visi dan kebesaran hati para pendahulu kita, mereka kemudian berhasil melampaui semua perbedaan tadi, sehingga akhirnya kita bisa dipersatukan menjadi sebuah bangsa,” kata Fadli, lewat rilisnya, Sabtu (28/10/2017).
Kini lanjutnya, tantangan merawat persatuan telah berubah. Tantangan bangsa ini terkait persatuan pada hari ini adalah ketidakadilan dan ketimpangan. Setiap kali terjadi pembiaran atas ketidakadilan politik, hukum, ataupun ekonomi. Fakta tersebut sesungguhnya sedang berlangsung proses melonggarkan ikatan persatuan.
Fadli mengutip studi Amy Chua, yang menegaskan bahwa sebuah sistem yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat memang akan melahirkan konflik dan instabilitas.
“Jadi, kalau dulu problem persatuan kita lebih bersifat kultural, maka kini problemnya menjadi bersifat struktural. Itu sebabnya kita harus memperhatikan isu keadilan dan kesetaraan secara serius, karena pertaruhannya bisa sangat mahal,” tegas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Masalah ketimpangan, misalnya, bukan hanya semata masalah ekonomi, namun ujar Fadli, bisa mendatangkan masalah bagi persatuan bangsa yang pernah terjadi di masa lalu sehingga terjadi jurang ketimpangan ekonomi menganga serta pada saat itu juga kohesi sosial bangsa melemah.
“Masalahnya, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, berbagai data menyebutkan jika pertumbuhan ekonomi sebenarnya hanya menguntungkan 20 persen warga terkaya saja, di mana 80 persen sisanya, yang mencakup sekitar 205 juta penduduk, tetap tertinggal di belakang. Pertumbuhan pendapatan 10 persen orang terkaya Indonesia tiga kali lipat lebih cepat ketimbang pertumbuhan 40 persen warga termiskin,” kata Fadli.
Itu sebabnya ujar dia, dalam rentang 2013 hingga 2015 yang lalu, angka koefisien gini mencapai 0,41, sebuah rekor ketimpangan tertinggi sepanjang sejarah. Tahun ini, angka koefisien gini memang turun ke angka 0,39, tapi karena kelas menengah menurun income dan konsumsinya. Itu bukan realitas yang bagus.
“Sehingga, bagi pemerintah tema peringatan Hari Sumpah Pemuda seharusnya bukanlah ‘Berani Bersatu’, tapi ‘berani adil’ dan ‘berani mengatasi ketimpangan’,” tegasnya.
Terakhir, Fadli juga menyinggung soal perbedaan suku, agama, ras dan lainnya selalu menjadi kekuatan di tangan pemimpin yang kuat dan adil. “Tapi hal itu bisa jadi ancaman di tangan pemimpin yang lemah dan tak adil,” pungkas Fadli.