Jakarta, Liputan.co.id – Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengkritisi penggiringan opini publik seolah-olah hanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja penegakan hukum bisa dipercaya. Sementara institusi penegak hukum lainnya tidak bisa dipercaya lagi.
Bahkan ujar Fahri, secara bersamaan juga berlangsung proses membangun opini agar bangsa ini tidak percaya kepada mekanisme hukum, kepada penyidik, penuntut serta pengadilan di luar KPK.
“Opini yang dibangun hanya penyidik, penuntut dan pengadilan yang diselenggarakan KPK yang benar dan layak dipercaya. Di Republik ini yang kita bisa percaya hanya KPK. Untuk penguatan opini itu, presiden diseret untuk terlibat di panggung opini itu,” kata Fahri, di Media Center DPR RI, Selasa (14/11/2017).
Karena presiden sudah diseret untuk mengintervensi dan diintervensi, politikus Partai Keadilan Sejahtera ini mengingatkan Joko Widodo agar ekstra hati-hati dalam menyikapi penggiringan opini ini.
“Saya ingatkan Presiden Jokowi yang tersayang. Karena presiden telah diseret untuk mengintervensi atau presiden telah diseret untuk diintervensi dan saling intervensi yang ditandai dengan kelakuan KPK menstabilo daftar nama kabinet di awal. Itu luar biasa karena presiden tidak bisa menggunakan hak prerogatifnya,” tegas Fahri.
Parahnya lagi lanjut Fahri, nama-nama yang distabilo itu bocor ke masyarakat. “Pertanyaan saya, apakah yang sudah di stabilo merah itu sudah ditangkap? Seba orang itu sudah hancur namanya. Kenapa ini dibiarkan? Tindakan ini tidak hanya intervensi tetapi pada saat yang sama KPK keluar dari kewenangannya. Saya mau nanya pasal mana yang membolehkan dia ini (KPK,red) mengatakan orang ini merah, dan kenapa orang itu sekarang tidak ditangkap? Inikan jadi konyol negara kalau seperti ini. Amatir lawan amatir, jadi negara amatir kita, nggak boleh seperti itu. Hukum adalah hukum. Patuh dan teguhlah pada kewenangan kita, jangan melebar ke mana-mana, mumpung punya nama baik, semua mau dinilai, jadi polisi moral, rusaklah negara kita ini,” ujarnya.
Demikian juga halnya KPK menolak Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan cara menersangkakannya. Begita BG bebas lewat putusan pengadilan dan akhirnya jadi Kepala BIN, KPK kata Fahri, diam juga.
“Itu sebuah tontonan yang memuakan, dia sama orang kecil saja beraninya, dikasih 10 juta, 25 juta, 40 juta, yang lugu lugu, hakim lugu-lugu, auditor lugu lugu, itu saja bisa dikeprak-keprak. Sedangkan yang gede kendor semua. Menurut saya ini pengrusakan negara hukum dan sekarang KPK menggunakan presiden untuk mengintervensi Polri. Hati-hati Bapak Jokowi! Anda bisa melakukan tindakan yang masuk ke dalam pasal di artikel of impeachment,” kata Fahri.
Terakhir, Fahri meminta Presiden Jokowi melepaskan penegakan hukum murni kepada mekanisme yudikatif. “Percayalah bahwa dalam 19 tahun ini, kita telah membangun sistem hukum yang baik. Kapan lagi kita percaya kepada sistem hukum kalau presiden sendiri bisa dihasut untuk tidak percaya kepada proses hukum,” tanya wakil rakyat dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat itu.
Menurut Fahri, KPK sudah tidak diperlukan lagi, sebab penegakan hukum sudah baik, demokrasi kini telah mengikis penyakit-penyakit bernegara karena negara telah dibuka sistemnya, biarkan sistem itu bekerja. Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Polisi jauh lebih masif dan jauh lebih produktif dengan anggaran yang dimiliki.
“Apalagi kalau mekanisme Densus Tipikor dipercayai dan disetujui, maka saya percaya, kita tidak memerlukan KPK lagi, tegakan hukum melalui mekanisme institusi penegakan hukum yang permanen. Jangan biarkan terlalu banyak lembaga adhoc bermain di wilayah penegakan hukum kita,” pungkasnya.
Komentar