Jakarta, Liputan.co.id – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyatakan status tersangka dan penahanan Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak akan mengganggu kinerja dan soliditas pimpinan DPR RI. Pimpinan DPR menurut Fahri, tetap kompak bekerja secara kolektif dan kolegial menjalankan tugas konstitusional sebagai speaker dari lembaga daulat kuasa rakyat.
Terkait kabar bahwa KPK telah mengeluarkan surat penahanan terhadap Ketua DPR, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengaku belum lihat dan menerima surat tersebut. “Perlu ditegaskan di sini bahwa status tersangka dan penahanan tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun terhadap status dan jabatan seorang pimpinan DPR RI,” kata Fahri lewat rilisnya dari Bandar Sribegawan, Brunei Darrusalam, Kamis (16/11/2017).
Dia jelaskan, Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) hanya mengatur jika seorang pimpinan DPR RI berstatus sebagai terdakwa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 86 Ayat (5) yaitu: Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
UU MD3 ujar wakil rakyat dari Nusa Tenggara Barat itu sangat menjaga marwah dan kehormatan seorang manusia di hadapan hukum sebagaimana ketentuan di dalam konstitusi Republik Indonesia. Untuk itu pemberhentian sementara pun terkait status terdakwa seorang pimpinan akan dilakukan dengan verifikasi yang sangat ketat oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
“MKD akan melakukan kajian mendalam atas status hukum terdakwa tersebut. MKD setelah melakukan verifikasi atas status terdakwa seorang pimpinan DPR RI berhak memutuskan untuk dilakukan pemberhentian sementara dan atau tidak dilakukan pemberhentian sementara. Dalam hal MKD berkeputusan untuk dilakukan pemberhentian sementara maka keputusan tersebut harus dilaporkan ke paripurna untuk mendapatkan penetapan melalui mekanisme pengambilan keputusan. Dalam hal MKD membuat keputusan tidak dilakukan pemberhentian sementara maka Pimpinan DPR yang berstatus sebagai terdakwa tetap pada tugas dan jabatannya dengan segala hak dan kewenangannya meski menjadi seorang terdakwa,” ungkap Fahri.
Rincinya aturan tersebut dibuat dalam hukum dan konstitusi kata Fahri, untuk menjaga keadilan dan kehormatan seorang manusia sampai adanya keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dan dalam hal seorang pimpinan DPR yang berstatus terdakwa diberhentikan sementara setelah adanya keputusan dari MKD dan mendapatkan penetapan dari sidang paripurna dalam putusan akhir pengadilannya dinyatakan tidak bersalah, maka status dan jabatannya sebagai pimpinan DPR RI akan dipulihkan dan dikembalikan.
“Artinya, sehubungan dengan status tersangka, penahanan dan terdakwa terhadap salah seorang pimpinan DPR maka tidak akan berimbas pada pergantian sampai memiliki keputusan yang berkekuatan hukum tetap dan atau jika Fraksi yang bersangkutan memilih mekanisme lain sesuai yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan,” jelas Fahri.
Hal tersebut lanjutnya, sesuai dengan ketentuan dalam UU 17 tahun 2014 tentang MD3 sebagaimana berikut: Pasal 86 ayat (5) UU 17/2014, “Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR”.
Dan mekanisme terkait status terdakwa seorang pimpinan DPR RI ujar Fahri, diatur dalam Peraturan DPR RI Tentang tata Tertib sebagaimana berikut: Pasal 36: tata cara pemberhentian sementara pimpinan DPR RI yang berstatus terdakwa.
a. Pimpinan DPR RI mengirimkan surat untuk meminta status seorang pimpinan DPR yang menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana kepada pejabat berwenang.
b. Pimpinan DPR setelah menerima surat keterangan mengenai status sebagaimana dimaskud dalam huruf a diteruskan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan.
c. Mahkamah kehormatan Dewan melakukan verifikasi mengenai status pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk diambil keputusan.
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dilaporkan kepada rapat paripurna DPR untuk mendapatkan penetapan pemberhentian sementara.
e. Keputusan paripurna disampaikan kepada fraksi yang bersangkutan.
Dalam hal jika rapat paripurna menetapkan seorang pimpinan DPR berstatus terdakwa diberhentikan sementara maka dilakukan rapat pimpinan DPR RI untuk menetapkan salah seorang pimpinan yang tersisa sebagai pelaksana tugas sampai ditetapkannya pimpinan definitif.
“Saya jelaskan ini ke publik bahwa tidak ada perubahan konstelasi di dalam DPR RI terkait perkembangan terkini atas status hukum saudara Setya Novanto. Pimpinan DPR RI akan tetap kompak bekerja secara kolektif dan kolegial sesuai peraturan perundangan yang berlaku untuk mengawal pelaksanaan tugas konstitusional seluruh anggota dan lembaga daulat kuasa rakyat,” imbuh Fahri.
Komentar