Penelitian Komnas Perempuan: Wanita Tak Rela Jadi Pelacur, Tapi Di Pedila

Ragam171 Dilihat

Jakarta – Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Sri Nurherwati menyatakan tak satupun perempuan karena kerelaan berprofesi sebagai pelacur. Sebab menurut Sri, semua perempuan sadar bahwa profesi pelacur atau prostitusi melanggar norma-norma sosial dan agama.

Sri mengungkap hasil penelitian Komnas Perempuan bahwa secara umum pelacuran yang dilakukan perempuan sebagai akibat dari tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Bermula dari KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya,” ujar Sri, dalam Dialektika Demokrasi “Akankah Prostitusi Masuk RUU KUHP seperti Keinginan Polisi”, di Media Center DPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/2).

Usai seorang perempuan mengalami KDRT ujar dia, biasanya korban kembali ke rumah orang tua atau keluarganya. Saat kembali ini, korban KDRT tidak diterima karena alasan sudah berumah tangga dan bekeluarga sendiri. Kalau korban KDRT diterima orang tua atau saudara korban yang didatangi takut dituduh sebagai tindakan ikut campur urusan rumah tangga orang lain.

“Penolakan oleh keluarga atau saudara terdekat ini memunculkan satu situasi membingungkan karena kembali ke rumah tangga tidak memungkinkan karena dalam kondisi traumatik. Situasi yang membingungkan korban inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh mucikari,” kata Sri.

Para mucikari lanjutnya, mendekati korban KDRT dan menawarkan fasilitas tempat tinggal dan pekerjaan agar terlepas dari kebingungan yang menimpa korban dan ujung-ujungnya mucikari membawa korban ke lokalisasi yang disamarkan sebagai tempat bekerja sekaligus tempat tinggal.

“Di tengah kebingungkan itu pula, korban KDRT tidak sadar bahwa dia sedang mengalami proses perempuan yang dilacurkan (Pedila) yang berada di lokalisasi dan terjebak harus mengikuti maunya mucikari atau ‘Mami’ sebagai pemilik usaha dan tempat tinggal. Pada fase ini, korban KDRT biasanya dilabel sebagai pendatang baru yang sangat diminati oleh pengguna,” ujar dia.

Situasi terjebak ini kata Sri, sangat dipelihara oleh para mucikari dan “Mami’ hingga korban KDRT yang kini sudah jadi Pedila tidak lagi laris di satu lokalisasi yang mereka kelola karena sudah menetap cukup lama.

“Mucikari dan ‘Mami’ membawa Pedila ini ke lokalisasi yang lain lagi, bahkan sampai ke luar negeri untuk didagangkan sebagai orang yang baru terjun ke dunia prostitusi yang pada akhirnya diminati oleh banyak pengguna,” ungkap Sri.

Dalam kajian Komnas Perempuan menurut Sri, belum ada satupun regulasi yang bisa mencegah korban KDRT yang diolah oleh mucikari hingga menjadi Pedila. “Mestinya Negara memberikan proteksi khusus terharap para perempuan yang dari awal sudah terdeteksi sebagai korban KDRT,” tegasnya.

Bahkan imbuhnya, Negara juga tidak punya regulasi yang memungkinkan terbentuknya sistem pemulihan kelompok rentan korban KDRT dan Pedila ini yang secara sadar ingin kembali ke tengah-tengah keluarga dan masyarakat. “Aksi penolakan bahkan pengusiran terhadap Pedila ketika ingin kembali ke tengah-tengah keluarganya berlangsung secara terus menerus tanpa ada proteksi Negara terhadap korban KDRT dan Pedila,” pungkasnya.

The post Penelitian Komnas Perempuan: Wanita Tak Rela Jadi Pelacur, Tapi Di Pedila appeared first on LIPUTAN.CO.ID.