Jakarta – Koordinator Presidium Majelis Nasional Forhati, Hanifa Husein mengingatkan perlu kebersamaan muslimah dan organisasi kaum perempuan menyikapi pembahasan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) karena berdampak dahsyat dalam perilaku manusia.
Pernyataan tersebut disampaikan Hanifa menyikapi pembahasan RUU PKS oleh DPR RI, saat menutup Seminar Forhati “Emak Milenial Sadar Olah Literasi Digital” yang digelar oleh Forhati, di Media Center Kahmi Jakarta, Jumat (29/3/2019).
“Semua kalangan sepakat menolak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Namun tidak semua kalangan sepakat akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujar Hanifa.
Oleh karena itu, dia mengkritik RUU PKS sebab secara implisit masih memberi peluang terjadinya hubungan sejenis dan hanya dihukum bila melakukan kekerasan dan pelecehan seksual.
“Padahal, di dalam Islam hubungan sesama jenis adalah perbuatan yang dilarang. Demikian juga dengan Pancasila sebagai sumber hukum, melalui Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, mengisyaratkan semua Undang-Undang yang berlaku di negara ini harus sesuai dengan ajaran agama bagi setiap pemeluk agama di Indonesia,” tegasnya.
Selain itu ujar Hanifa, masih terdapat celah di mana perbuatan zina tidak dapat dihukum dan sebenarnya bisa diusulkan dalam penyempurnaan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Perdagangan Manusia, UU Perlindungan Anak, atau RUU KUHP yang sampai dengan sekarang belum disahkan, atau bisa diakomodir dengan diusulkannya RUU Kejahatan Seksual.
“Mudah-mudahan DPR yang akan datang bisa lebih smart mencermati kepentingan masyarakat tentang kekerasan seksual ini, namun tidak tumpang-tindih dengan undang-undang yang sudah ada, dan harus sesuai dengan Pancasila,” kata Hanifa.
Setia manusia, apapun etnis, suku, ras, bangsa, dan agamanya kata Hanifa, tidak memberi ruang toleransi pada setiap perilaku dan hubungan seksual bebas. Namun, yang terpenting dan utama dalam Islam sebagai jalan hidup yang dianut oleh sebagian terbesar masyarajat Indonesia, hubungan seksual antara lelaki dan perempuan hanya ada dan boleh berlaku dalam ikatan pernikahan sebagaimana diatur dalam Al Qur’an, Sunnah Rasul dan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Hukum yang menyertainya.
“Prinsip moral sebagai prinsip dasarnya sudah jelas yaitu hubungan seksual hanya berlaku bagi laki-laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan. Dengan prinsip moral ini, hubungan seksual berdimensi spiritual, menjamin kejelasan tentang hubungan nasab, asal usul, dan mencegah berbagai dampak buruk yang ditimbulkannya, dan mengancam kesejahteraan hidup insani sebagai sebaik-baiknya manusia yang beradab,” ujarnya.
Dia tegaskan, dimensi spiritual pernikahan di dalam Islam gamblang dan terang benderang bahwa esensi hubungan lelaki dan perempuan, termasuk hubungan seksual, dilandasi oleh cinta yang terkait dengan kepatuhan insan kepada Allah SWT, Al Khaliq, sebagai sumber dari segala sumber cinta dan kasih sayang.
“Pelacuran dan penyimpangan seksual merupakan zina dan diharamkan, tidak hanya karena terkait dengan moralitas dan peradaban manusia, juga terkait dengan kualitas hidup. Terutama, kualitas kesehatan,” kata Hanifa.
Sedangkan hubungan seksual berdimensi spiritual sesuai dengan ajaran Islam, mencegah berbagai kehancuran dan penghancuran manusia, antara lain dalam bentuk penyebaran HIV/AIDS yang disebabkan oleh perilaku seks bebas dan menyimpang.
Karena itu, Presidium Majelis Nasional Forhati, menegaskan hubungan seksual hanya berlaku bagi laki-laki dengan perempuan dalam ikatan pernikahan yang sesuai dengan ketentuan agama (syariah) dan undang-undang negara yang berlaku, dilandasi oleh kedamaian dan kenyamanan, cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, wa rahmah), sebagai wujud keimanan dengan akhlak mulia, yang akan berdampak pada kualitas hidup pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan bangsa secara lebih baik.
Segala bentuk hubungan seksual di luar ikatan pernikahan dan hubungan seksual menyimpang (lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender) ujarnya, bertentangan dengan hakekat kemanusiaan dan merendahkan eksistensi manusia sebagai sebaik-baik makhluk (ahsanittaqwim) menjadi hanya khayawan an nathiiq (hewan yang berakal)
“Hal paling utama dalam memerangi kejahatan seksual harus dengan cara-cara yang sistemik, strategis, dan berdampak luas, yaitu memberikan prioritas pada peningkatan kualitas manusia sebagai subyek kehidupan dengan percepatan peningkatan kualitas kesehatan, kualitas pendidikan, dan kemampuan ekonomi, sebagai bagian integral dari upaya meningkatkan ketahanan keluarga,” kata Hanifa.
Pengaturan berbagai hal terkait dengan hubungan seksual dalam ikatan pernikahan dan manusiawi dalam bentuk perundang-undangan kata dia, harus dilakukan secara komprehensif, mengakomodasi seluruh pandangan dan sikap masyarakat yang kelak akan menjadi obyek undang-undang, dan visioner jauh ke masa depan, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku, dan tidak hanya untuk memenuhi kehendak dan aspirasi sekelompok masyarakat, serta sekadar mengikuti perkembangan dinamika global.
Setiap UU yang disahkan dan diundangkan imbuhnya, harus mempertimbangkan dampak kemanfaatannya bagi masyarakat luas dan harus terasakan manfaatnya secara langsung oleh seluruh lapisan masyarakat, disertai dengan penegakan hukum yang adil, tegas, nyata, dan bertanggungjawab.
“Ketegasan sikap Presidium Majelis Nasional Forhati ini, merupakan respon aktif terhadap RUU PKS agar sejalan dengan berbagai hasil diskusi dan kajian yang dilakukan oleh Forhati sebagai bagian tak terpisahkan dari ikhtiar memanifestasikan prinsip ‘insan cita,’ dalam mewujudkan tanggungjawab sosial di tengah masyarakat,” pungkasnya.
The post Forhati Nilai RUU PKS Masih Memberi Celah Perzinaan Tak Dihukum appeared first on LIPUTAN.CO.ID.
Komentar