Dengan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, Indonesia diprediksi bisa menjadi negara yang ekonominya terbesar nomor 6 (enam) di dunia pada 2023 mendatang, dan nomor 5 (lima) pada 2030 mendatang. Namun Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono, mengemukakan ada satu hal yang belum selesai, yaitu masalah sampah.
“Kita tahulah memang Indonesia menghasilkan sekian juta ton sampah, payung hukum sudah ada. Tapi dari berbagai masalah yang telah dihandle, tampaknya masalah sampah masih menjadi masalah kita,” kata Diaz saat menjadi pembicara kunci pada acara bertajuk “Dengar Yang Muda Seri XVI: #dibuang sayang”, di Rumah Sanur, Denpasar, Bali, Rabu (14/8) pagi.
Menurut Diaz, permasalahan sampah tidak hanya berdampak kepada isu kesehatan, pariwisata dan perekonomian tetapi juga harga diri kita sebagai sebuah bangsa. Presiden pun sudah bosan berkali-kali menyelenggarakan rapat terbatas soal sampah tapi tidak selesai-selesai.
Karena itu, Diaz tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan, bahwa masalah sampah tidak seksi dan strategis. “Itu sangat-sangat berpengaruh terhadap pencapaian visi Indonesia menjadi negara maju,” tegasnya.
Staf Khusus Presiden itu lantas mengkritik keras perilaku sejumlah orang yang membuang sampah di sungai atau di laut. Ia mengingatkan pada peradaban kuno, Mesopotamia dan Irak maju dan berkembang karena memiliki Sungai Eufrat dan Tigris. Demikian juga Mesir maju karena memiliki Sungai Nil, yang merupakan sungai terpanjang di dunia.
Bahkan Kerajaan Sriwijaya kejayaannya pernah sampai ke wilayah Thailand, Vietnam, dan Kamboja karena Sungai Musi. Begitu Sungai Musi penuh lumpur, kapal-kapal ngga mau berlabuh. Setelah itu muncul Majapahit yang berada di antara Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Sama dengan Mesopotamia di antara Eufrat dan Tigris.
“Jadi, peradaban kuno itu kerajaan-kerajaan maju karena sungai, lha kok sekarang sungainya jadi tempat sampah. Makanya siapa bilang sampah itu bukan masalah strategis,” ucap Diaz.
Kita Bisa
Apakah kita bisa? Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono menyitir perkembangan di Rwanda, yang pernah terjadi genocida tahun 1994 saat terjadi pertikaian antara suku Tutsi dan Hutu, 800 ribu orang mati dari jumlah penduduk 7 juta.
“Sekarang kotanya menjadi the Cleanest City in Africa, dan mereka ini menjadi the Singapore at Africa. Pertumbuhan ekonomi mereka melesat. Bayangkan 1994 ada genocida bisa menjadi the Cleanest City in Africa, masa Indonesia yang ngga pernah terjadi genocida ngga,” ucap Diaz dengan nada bertanya.
Untuk itu, Diaz yang pada kesempatan awal mengapresiasi keberhasilan Bali, dan Denpasar khususnya, dalam menangani masalah sampah, terutama masalah sampah plastik, mengajak para aktivis LSM dan NGO untuk terus bergerak.
“Semoga saja soal sampah ini tidak berhenti sampai di seminar-seminar saja tapi nanti ada aksi nyata, dan apa yang bisa dilakukan di sini bisa dilakukan di tempat yang lebih tinggi. Pasti bisa,” pungkas Diaz.
Acara “Dengar Yang Muda Seri XVI: #dibuangsayang” ini menghadirkan narasumber I.B. Rai Dharawijaya (Walikota Denpasar) yang mewakili pencetus ide tanpa plastik kresek untuk semua retailer di Bali, Komang Sudiarta (malu.dong) pemimpin komunitas yang melakuken edukasi dan sosialisasi ke anak-anak sekolah mengenai bahaya sampah, Pande Gede Bayu Antariksa (pengusaha), Jeff Kristansi (BEDO) pengurus NGO peduli lingkungan yang membantu pengusaha UKM menggunakan bahan recycle olahan sampah, dan I Gde Ngurah Widiadnyana (Somia Design) yang mengedepankan ecogreen designe dan mengangkat material pengganti yang ramah lingkungan.
Dalam acara ini juga ditampilkan fashion show dengan tema Upcycling, dan workshop upcycling dan presentasi Olah Limbah Kreasi atau Olikasi, serta pameran produk UKM.
Sebelumnya acara “Dengar Yang Muda” sudah digelar di Jakarta, Bandung, dan Gorontalo. (ES)
The post Anggap Strategis, Diaz Hendropriyono: Masalah Sampah Berdampak Pada Harga Diri Bangsa appeared first on LIPUTAN.CO.ID.
Komentar