Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Profesor Dailami Firdaus menilai persoalan defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sepertinya sudah menjadi penyakit kronis yang tidak sembuh-sembuh.
“Sudah sempat masuk UGD, diinfus dengan cairan ‘tembakau’ (jangan dicoba pasien lain ya, berbahaya!), dinyatakan sembuh walaupun masih sempoyongan keluar dari rumah sakit. Seperti itulah kita mengumpamakan situasi BPJS Kesehatan saat ini,” kata Dailami, lewat rilisnya, Rabu (14/8/2019), mengumpamakam kondisi DJS BPJS Kesehatan saat ini.
Ratusan juta rakyat kata Senator asal DKI Jakarta ini, sudah dijamin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui Program JKN, tetapi BPJS Kesehatan itu sendiri sejak 2014 menderita penyakit permanen yaitu, ‘defisit’.
“Sejatinya yang harus dibenahi adalah manajemen BPJS itu sendiri dalam mengelola uang rakyat yang dibayarkan sebagai premi kepesertaan BPJS, baik yang berasal dari APBN, APBD maupun iuran mandiri,” sarannya.
Lihat misalnya, pembayaran kapitasi ke pemerintah daerah (pemda) sebesar Rp2,5 triliun. Itu seharusnya kata Dailami, tidak lagi harus diberikan ke pemda tapi lebih dimanfaatkan untuk pelayanan kepada pasien. Apalagi di setiap APBD masing-masing daerah sudah ada pos anggaran untuk belanja Sektor Kesehatan, begitu juga di APBN.
“Jadi sebaiknya pemberian dana kapitasi kepada pemda dihapus saja karena pemborosan terhadap dana pengelolaan jaminan kesehatan,” ujar Dailami.
Bang Dailami, panggilan beken Dailami Firdaus menambahkan, selain dana kapitasi, banyak rumah sakit yang tidak sesuai tipenya dengan fasilitas yang dimiliki. “Ada rumah sakit tipe C tapi fasilitas yang dimiliki tidak sesuai dengan tipenya,” ungkap Ketua Dewan Pembina Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia) itu.
Diungkapkan Bang Dailami, ada lebih dari 600 rumah sakit dengan nilai lebih bayar sekitar lebih dari Rp800 miliar. “Ini jelas pemborosan, sehingga Kemenkes harus memperketat pengawasan terhadap akreditasi rumah sakit agar besarnya pembayaran biaya pengobatan yang dibayar BPJS sesuai dengan tipe rumah sakit,” ujarnya.
Selain itu, Bang Dailami juga menyanyangkan rencana pemerintah menaikan iuran bagi peserta, karena itu bukan solusi yang menyelesaikan masalah. “Justru akan menimbulkan masalah yang baru. Karena akan menjadi beban biaya hidup masyarakat di tengah penghasilan masyarakat yang tidak bertambah,” tegas Bang Dailami.
Meski demikian, dia juga mengakui ada ketidakpatuhan peserta membayar iuran premi BPJS, khususnya di Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), di mana hanya 51 persen yang membayar rutin.
“Dari kondisi itu bisa kita lihat di tengah kemalasan peserta PBPU membayar iuran, ketika premi dinaikan maka akan semakin besar lagi peserta PBPU yang akan membayar rutin,” ujar bang Dailami.
Ketidakpatuhan tersebut menurut dia, lebih disebabkan karena pelayanan kesehatan yang mereka terima di rumah sakit tidak memuaskan. Banyak peserta yang masih sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
Terakhir, Bang Dailami juga menyoroti soal kenaikan tunjangan Dewan Pengawas (Dewas) dan direksi BPJS di tengah amburadulnya defisit BPJS Kesehatan. “Menaikan tunjangan bagi Dewas dan Direksi BPJS keputusan konyol,” tegasnya.
Dia jelaskan, dalam ketentuan yang baru yakni PMK Nomor 112/PMK.02/2019 yang merupakan perubahan dari beleid terdahulu, pemberian tunjangan bisa dua kali gaji atau upah yang diterima oleh Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Dewan Direksi.
“Saya rasa ini kebijakan konyol, di tengah defisitnya BPJS dan kita semua sedang memikirkan solusinya. Malah tunjangan Dewas dan Direksi BPJS akan dinaikan dua kali lipat,” pungkas Bang Dailami.
The post Bang Dailami: Menaikan Tunjangan Dewas dan Direksi BPJS Keputusan Konyol appeared first on LIPUTAN.CO.ID.