JAKARTA – Jika ingin memahami pariwisata gunakan kacamata manajemen dan marketing. Jangan memakai sudut pandang yang lain, karena bisa salah kaprah, gagal fokus dan malah menciptakan polemik yang tak berujung pangkal. Itulah pesan Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Didin Junaedi di Jakarta, 4 September 2019.
Didin yang sudah lebih dari 50 tahun malang melintang di industri pariwisata itu mengatakan, hingga kini, masih banyak pihak yang salah dalam mengartikan konsep wisata halal, yang lebih smart disebut Pariwisata Ramah Muslim (PRM) itu. Menurutnya, PRM hanyalah sebuah produk pariwisata. Bahkan, negara-negara non muslim pun seperti Thailand pun menerapkannya.
Mereka berani memproklamirkan diri sebagai destinasi wisata ramah muslim. Meskipun semua orang tahu, jumlah penduduk muslimnya tidak banyak. Masakan yang muslim friendly juga pasti tidak sebanyak di Indonesia. “Mereka melihat customers-nya, mereka melihat ada pasar besar yang bisa didapat. Maka mereka menyiapkan produknya,” ungkap Didin Junaedi.
Dia menyebut, pariwisata halal itu muncul karena kebutuhan pasar. Pariwisata halal dimunculkan disejumlah negara untuk menjaring wisatawan muslim, yang sensitif dengan di makanan. Itupun, tidak akan mengubah budaya, tradisi dan adat istiadat yang dijunjung tinggi oleh mereka.
“Pergerakan wisatawan muslim di dunia sangat besar. Dan saat ini, wisatawan muslim membuka diri terhadap destinasi di penjuru dunia. Potensi pasar inilah yang dibaca. Makanya negara seperti Thailand pun membuat pariwisata halal,” papar Didin.
Apakah kemudian Thailand menjadi negara muslim? Didin dengan tegas menjawab tidak! Thailand hanya ingin menyampaikan jika wisatawan muslim bisa diterima dengan nyaman di sana. Wisatawan muslim bisa makan di banyak restoran yang halal, dan bisa beribadah sesuai agama dan kepercayaannya.
Banyak fasilitas halal yang mereka bisa nikmati. Dan wisatawan muslim bisa berwisata dengan santai. Karena di Thailand menyediakan tempat ibadah, arah kiblat, tempat berwudhu, makanan halal dan lain-lainnya.
Ditambahkan Didin, sebuah destinasi wisata harus terbuka buat semua wisatawan. Destinasi yang baik adalah destinasi yang menyediakan semua kebutuhan wisatawan sebagai customersnya. Baik kebutuhan kuliner, ibadah, dan lain-lainnya.
“Banyak kemudian masyarakat yang hanya terjebak dengan istilah halal. Tapi, tidak mengetahui seperti apa sih konsepnya. Yang akhirnya, hanya polemik dan beda pendapat yang lama-lama bisa menimbulkan dampak yang tidak sehat. Padahal seharusnya tidak begitu, pariwisata itu mencari tempat yang nyaman, suasana yang damai, kekerabatan, kekeluargaan, dan bukan sebaliknya,” paparnya.
Diterangkannya, konsep yang diterapkan dalam pariwisata halal adalah muslim friendly. Atau destinasi yang ramah terhadap muslim. Tapi, tidak menghilangkan atau mencabut akar budaya yang sudah tertanam kuat di sana. Bahkan tidak mengganggu sama sekali.
“Bali bisa menjadi contoh yang bagus. Bali itu muslim friendly. Kebutuhan wisatawan muslim ada di sana bisa dipenuhi dengan baik. Tapi kebiasaan dan adat istiadat mereka tidak terganggu. Buktinya, Raja Salman asal Arab Saudi berkunjung kesana. Yang artinya apa, Ia tidak terganggu saat berada di Bali. Justru Raja Salman sangat menikmati berwisata di Bali. Itulah pariwisata,” papar Didin Junaedi.
Didin berharap polemik terhadap isu-isu wisata halal ini tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah baru. Sebelum menjadikan polemik, pelajari dahulu dengan baik. Masyarakat harus mencari contoh dari konsep ini. Termasuk dampak positifnya buat masyarakat.
Apalagi, daerah atau kawasan itu memang tidak sedang di-program secara khusus oleh Kemenpar untuk menjadi destinasi muslim friendly, seperti NTB, Sumbar dan Aceh.
Didin Junaedi juga menjelaskan, wisata halal saat ini sedang berkembang. Mengacu dari data Global Muslim Travel Index (GMTI), wisatawan muslim dunia akan tumbuh 27% per tahun sejak 2000 hingga 2020. Angka riil pertumbuhannya berada di angka 158 juta orang wisatawan. Potensi transaksi yang dihasilkan mencapai Rp3.080 Triliun.
Jumlah ini pun melampaui pertumbuhan wisatawan dunia yang berada pada kisaran 6,4% per tahun, versi WTTC (2018). Didin menerangkan, potensi menggiurkan tersebut sudah direspon oleh stakeholder pariwisata Indonesia. Hanya saja, sebarannya belumlah merata.
“Dari data itu, cukup beralasan bila wisata halal ini dikembangkan. Potensi valuenya itu sangat besar secara ekonomi. Sangat menjanjikan untuk menaikan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Konsep wisata tersebut sejatinya bisa diterapkan di destinasi manapun. Asalkan, daerah ini memahami konsepnya secara menyeluruh,” terang Didin lagi.
Menurutnya, ada berbagai keuntungan bila menerapkan wisata halal. Faktanya, pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia mencapai 18% pada 2018. Pergerakan wisman Muslim mencapai 2,8 Juta orang. Aktivitas tersebut menghasilkan aliran devisa hingga Rp40 Triliun.
Didin menjelaskan, Indonesia memiliki seluruh prasyarat untuk lebih mengoptimalkan pasar wisata halal tersebut. “Tidak banyak perubahan untuk mengembangkan wisata halal. Statusnya hanya terfokus pada makanan dan penyediaan tempat ibadah saja. Secara kalkulasi, tiap destinasi di Indonesia bisa melakukannya, karena sudah tersedia di setiap kota. Kan ini juga tidak sulit. Hanya perlu sedikit pembenahan pada sisi infastruktur pendukungnya, sebab alam dan budaya Indonesia sangat eksotis,” jelas Didin.
Indonesia saat ini menduduki peringkat 1 GMTI dari 130 negara, bersama Malaysia. Indonesia jauh mengungguli Turki, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Posisi tersebut ditopang beragam pembenahan. Seperti aksesibilitas, komunikasi, pengendalian faktor lingkungan, hingga pelayanan.
“Destinasi dengan karakter alam dan budayanya yang khas sangat pas mengadopsi konsep wisata halal ini. Dengan begitu, aliran value secara ekonominya tersebar lebih merata ke tiap daerah. Dengan upaya yang dilakukan Kemenpar, impact positif konsep wisata halal yang muncul akan semakin besar. Sebab, target-target tersebut sangat terbuka terealiasasi,” tutupnya.(*)
The post Wisata Halal atau Ramah Muslim Hadir Karena Kebutuhan Pasar appeared first on LIPUTAN.CO.ID.
Komentar