Jakarta – Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Yorrys Raweyai meminta pemerintah merumuskan regulasi untuk menyelesaikan permasalahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang selama ini menjadi momok masyarakat Indonesia.
Sebab menurut Yorrys, peristiwa karhutla di Indonesia telah menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat Indonesia. Selama ini, cuma ada penanganan karhutla, aspek pencegahan karhutlah belum maksimal dilakukan.
Hal tersebut dinyatakan Yorrys dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komite II DPD RI dengan dengan sejumlah ahli membahas pengawasan UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, di Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan – Jakarta, Senin (21/10/2019). Ahli yang ikut RDPU antara lain Dradjat Hari Wibowo, Hariadi Kartodihardjo dan Leonard Simanjuntak dari Greenpeace Indonesia.
“Saat ini Indonesia lebih membutuhkan regulasi tegas yang mengikat semua pihak sebagai upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan,” kata Yorrys.
Regulasi tersebut ujar dia, harus melibatkan semua sektor yang berkaitan dengan kawasan hutan dan lahan, baik dari sisi pengelolaan ataupun pelestarian. Selain itu, pemerintah harus dapat membangun sarana dan prasarana dalam upaya pencegahan dan pemadaman kasus karhutla.
“Kebakaran hutan bukan masalah baru, pemerintah harus membuat satu regulasi khusus tentang bagaimana pencegahan itu. Kalau regulasi sekarang kan dibebankan kepada sektoral. Menurut saya itu bukan solusi,” tegas Yorrys.
Setiap terjadi karhutla lanjut Senator Indonesia asal Provinsi Papua itu, TNI-Polri dikerahkan. Namun begitu TNI-Polri sampai di lokasi karhutla, maka SDM-nya cukup memadai, namun sarana dan prasarananya belum ada. “Kami juga mengusulkan, pemerintah perlu membuat satu badan khusus yang menangani kebakaran lahan dan hutan,” sarannya.
Dalam rapat yang sama, Wakil Ketua Komite II DPD RI Bustami Zainudin, mengatakan kasus karhutla di Indonesia selalu berulang tiap tahunnya, dan sampai saat ini tidak ada penanganan serius dari pemerintah.
Dia jelaskan, dalam lima tahun terakhir, luas karhutla secara nasional mencapai 4,5 juta hektar lebih. Karhuta terbesar menurutnya terjadi pada tahun 2015 yang mencapai 3 juta hektar, tahun 2016 seluas 438.363 hektar, tahun 2017 mencapai 165.484 hektar, tahun 2018 seluas 510.564 hektar dan tahun 2019 350.000 hektar.
“Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena karhutla sudah menjadi bencana rutin setiap tahun, sementara penanganannya cenderung terlambat,” tegas Bustami.
Lebih lanjut, Senator Indonesia asal Provinsi Lampung ini membeberkan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dalam kurun waktu Januari hingga September 2019 yang diperkirakan mencapai Rp66,3 Triliun.
Kerugian ini kata Bustami, lebih kecil dibandingkan kebakaran tahun 2015, yang mencapai Rp221 triliun. “Jika luas kebakaran hutan tahun 2019 sekitar 11,6 persen dari total luas kebakaran di tahun 2015, besaran kerugian ekonomi pada kebakaran hutan tahun 2019 adalah 30 persen dari besaran kerugian pada kebakaran hutan tahun 2015. Artinya, tingkat kerugian akibat kebakaran hutan tahun 2019 lebih besar dibanding 2015,” imbuhnya.
Senada, Dradjad Hari Wibowo mengatakan kasus karhutla sangat merugikan negara Indonesia karena penanganan pemerintah atas kasus karhutla dia nilai tidak serius dan tidak efektif. Dradjat menganggap penanganan karhutla tidak diimbangi dengan sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah ditimpa karhutla. Selain itu, tidak ada tindakan tegas atas pelaku pembakaran hutan dan lahan.
“Itu menunjukkan penanganan karhutla dan bencana asap kurang efektif. Penanganan lebih kepada pencitraan penegakan hukum. Sekian perusahaan sudah kita tindak, itu biasanya yang ditekankan. Pemprov dan Pemkab/Pemkot kurang intensif terlibat karena kurang sumber daya dan dana. Jadi budget ngucur saat terjadinya bencana, ketika tidak ada bencana, lembaga klaim digunakan untuk memperbaiki sistem,” ungkap Drajad.
Sedangkan Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, menjelaskan bahwa kasus karhutla membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter karbon terbesar di dunia. Dirinya memfokuskan pada pengurangan deforestasi dan pembakaran untuk pembukaan lahan. Saat ini masih banyak industri yang menggunakan pembakaran untuk land clearing.
“Setiap tahun di musim kering kita punya permasalahan. Deforestasi dan kebakaran hutan menyumbang emisi karbon terbesar. Tanpa adanya pengurangan deforestasi, Indonesia tidak akan bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon,” imbuhnya.
The post Komite II DPD RI Minta Pemerintah Bentuk Badan Khusus Karhutla appeared first on LIPUTAN.CO.ID.