Jakarta – Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Bambang Sutrisno mengatakan Ujian Nasional atau UN menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Salah satu penyebabnya menurut Bambang, karena UN dinilai telah menghilangkan tujuan utama dari pendidikan. Karena alasan tersebut, maka sebagian masyarakat tidak menyetujui UN dijadikan tolak ukur atas kelulusan siswa sekolah karena mengabaikan masa pendidikan sebelum mengikuti UN.
“Sejak pelaksanaannya di tahun 2003, hingga saat ini pelaksanaan UN masih menimbulkan pro dan kontra. UN mendorong siswa belajar bukan karena kecintaan pada ilmu tetapi motivasi nilai atau angka tinggi nilai UN,” kata Bambang, saat memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), di Ruang Rapat Komite III DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan – Jakarta, Senin (20/1/2018).
Di tengah pro dan kontra tersebut ujarnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menyatakan UN akan diubah dengan model baru, yang berbasis pada literasi dan karakter. Asesmen didasarkan pada kompetensi dan survei karakter.
Anggota BSNP Bambang Suryadi mengungkapkan pihaknya tidak dalam sikap menolak atau menyetujui penghapusan UN. Dari sisi teknis, tugas dan fungsi BSNP adalah mengkaji secara mendalam arahan Mendikbud terkait Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang tengah disiapkan sebagai pengganti UN, sembari mengkaji kebijakan tersebut, BSNP tetap mempersiapkan pelaksanaan UN 2020 yang masih akan berlangsung di tahun depan.
Ditegaskannya, sepanjang PP nomor 19 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengatur tentang pelaksanaan UN tidak ada perubahan, maka dengan sendirinya UN tetap akan dilaksanakan.
“Jika merujuk pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Indonesia menganut sistem berbasis standar. Langkah ini, sebagai salah satu upaya untuk memastikan dan menjamin tersedianya layanan pendidikan yang bermutu bagi warga. Untuk itu, maka pemerintah menetapkan standar nasional pendidikan, sebagai kriteria minimal yang menjadi parameter tercapainya standar nasional pendidikan. Untuk menilai keberhasilan standar nasional dilakukan evaluasi, salah satunya UN dan USBN,” ujarnya.
Sedangkan Ketua PGRI Supardi menyatakan norma UN tidak ada dalam UU Sisdiknas. Dasar hukum penyelenggaraan UN ada pada PP nomor 19 tahun 2005. Atas dasar itu secara norma pelaksanaan UN sebenarnya melanggar hukum karena norma UN yang ada pada PP nomor 19 tahun 2005 tidak ada cantolannya di UU Sisdiknas.
“Jika UN dimasukan dalam kategori evaluasi pendidikan, maka sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 21 UU Sisdiknas dimana UN dimaksudkan sebagai kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan. Adapun jika merujuk pada Pasal 58 ayat (2) UU Sisdiknas berkenaan dengan evaluasi pendidikan, apakah BSNP dapat dikategorikan sebagai lembaga mandiri? Jika UN dikategorikan sebagai evaluasi hasil belajar peserta didik, semakin tidak tepat karena evaluasi itu menjadi kewenangan pendidik,” tegas Supardi.
Senator Indonesia asal DI Yogyakarta, Hilmy Muhammad mengkritisi pelaksanaan UN yang menurutnya belum dapat dijadikan ukuran minimal kualitas manusia Indonesia. Penyelenggaraan UN seharusnya juga diarahkan pada peningkatan indeks kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Sedangkan Senator Indonesia asal DKI Jakarta Sylviana Murni menganggap UN harusnya tidak digunakan sebagai tolak ukur kelulusan siswa, tetapi untuk memetakan mutu pendidikan di Indonesia melalui UN.
“Dari pemetaan tersebut dapat diketahui daerah mana yang mutu pendidikannya belum memenuhi standar sehingga diperlukan berbagai intervensi dari pemerintah agar dapat memenuhi standard tersebut. Persoalannya adalah intervensi yang dilakukan oleh negara sering tidak tepat dan tidak sesuai,” tegas Sylviana.
Anggota DPD RI asal Provinsi Bali Anak Agung Gde Agung menambahkan dampak UN pada peserta didik secara psikologis. Hingga saat ini UN tetap dianggap sebagai momok yang menakutkan dan mencemaskan bagi peserta didik.
Menutup RDPU, PGRI mengungkapkan telah memberikan masukan kepada Pemerintah bukan hanya soal UN semata tetapi secara komprehensif PGRI telah memberikan masukan terhadap penyelenggaraan UN.
“Salah satu rekomendasi PGRI adalah revisi UU Sisdiknas karena belum memberikan desain yang menyeluruh terhadap peningkatan pendidikan di Indonesia yang berdampak pada kualitas SDM. PR lain yang juga menjadi konsern PGRI adalah urusan guru yang diotonomisasi menjadi kewenangan daerah dengan UU Pemerintahan Daerah sehingga tidak tersentral,” pungkasnya.
The post Sejumlah Anggota DPD RI Kritik Keberadaan UN appeared first on LIPUTAN.CO.ID.