Pengembangan biodegradable pot (biopot) yang dilakukan Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH) Kuok sejak 2012 lalu, kini masuk pada tahap pengembangan simulasi produksi massal. Targetnya, tidak hanya berkontribusi mengurangi sampah plastik, melainkan juga mampu berperan dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
“Tiga tahun ini, kegiatan litbang di Kuok berkonsentrasi pada pengembangan biopot agar lebih ekonomis dan praktis. Kami juga melakukan simulasi produksi massal dalam skema usaha kecil menengah (UKM) sebagai usaha alternatif masyarakat desa,” jelas Agus Wahyudi, S.Hut, M.Si., peneliti BP2TSTH Kuok.
Biopot yang dihasilkan oleh BP2TSTH Kuok, kini semakin ekonomis, dengan harga pokok produksi Rp 958/biopot. Angka ini lebih murah dari produk sebelumnya yakni Rp 1.050/biopot. Pengembangan terus dilakukan untuk dapat mencapai harga Rp. 100,-/biopot. Analisis finansial menunjukkan bahwa benefit and cost ratio (B/C ratio) biopot ini sebesar 1.04, yang berarti produk ini layak untuk diusahakan oleh masyarakat.
“Kuncinya pada proses pembuatannya. Biopot sebelumnya menggunakan metode sedot atau vacuum, dimana pengerjaannya satu-satu sehingga butuh waktu dan tenaga kerja yang banyak. Dengan metode baru menggunakan mesin press, sekali cetak ada 12 pot yang dihasilkan. Ini telah menekan biaya produksi, harga per pot,” lanjut Agus.
Proses pembuatan biopot relatif mudah, dimulai dengan penguraian bahan baku menjadi serat. Selanjutnya, seluruh bahan dicampurkan dengan persentase kelarutan tertentu (menyesuaikan dengan ketebalan yang dikehendaki), dan kemudian dicetak.
Berbeda dari biopot yang dikembangkan oleh institusi lainnya, BP2TSTH Kuok memanfaatkan limbah lignoselulosa terutama limbah industri penggergajian, pemanenan hutan tanaman industri (HTI) dan limbah produksi pabrik kelapa sawit (tandan kososng) yang melimpah di Provinsi Riau. Sumber serat tanaman juga dapat diperoleh dari limbah rumah tangga dan perkantoran, seperti limbah kertas atau karton. Ketersediaan bahan baku dan juga kebutuhan jutaan bibit pohon setiap tahunnya, membuat biopot cukup potensial dikembangkan sebagai alternatif usaha oleh masyarakat.
Potensi pengembangan biopot tersebut tidak hanya di Riau, melainkan juga di seluruh Indonesia. Diketahui, setiap persemaian permanen yang dibangun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), membutuhkan lebih dari satu juta bibit setiap tahunnya. Saat ini terdapat 52 persemaian permanen. Belum lagi persemaian-persemaian yang dibangun pihak lain, termasuk persemaian tanaman pertanian yang juga membutuhkan pot dalam prosesnya.
Secara teknis, biopot yang dihasilkan oleh tim peneliti BP2TSTH mampu bertahan selama 6-12 bulan di persemaian yang setiap hari disiram. Biopot ini akan terdekomposisi sempurna di dalam tanah dalam jangka waktu dua tahunan. Biopot juga mampu menyumbang hara makro (resources) ke tanah dan atau tanaman, kemampuannya melepaskan unsur N (?1 %), unsur P (?0.1 %) dan unsur K (?0.05 %).
Inovasi biopot ini selaras dengan program Kementerian LHK untuk mengendalikan sampah plastik di Indonesia. Menurut data Kementerian LHK, timbunan sampah di Indonesia secara nasional sebesar 175.000 ton per hari dengan komposisi sampah organik (sisa makanan dan tumbuh-tumbuhan) 50%, plastik 15%, kertas 10?n sampah lain-lainnya sebesar 25%.
Di sektor kehutanan, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sangat berpotensi menghasilkan sampah plastik. Apalagi, Kementerian LHK telah mencanangkan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 1,1 juta ha setiap tahun. Dari luasan tersebut, kebutuhan bibit tanaman yang harus disiapkan untuk bahan tanaman di lapangan sekitar 440 juta bibit (1 ha diperlukan 400 tanaman). Pembuatan bibit tanaman untuk memenuhi kebutuhan tersebut masih menggunakan plastik polybag sebagai wadah media tanam dalam persemaiannya. Penggunaan plastik polybag tersebut akan menjadi sampah plastik yang jumlahnya mencapai 880 ton/tahun (1 kg berisi 500 lembar polybag). Kondisi ini tentu menjadi tantangan sekaligus peluang bagi biopot untuk berkontribusi mengurangi limbah plastik.
Diharapkan biopot ini bisa diaplikasikan pada skala industri kecil menengah dan mampu menjadi percontohan untuk implementasi 3R (Reduce, Recycle, Reuse). Dengan konsep yang mengacu pada realitas sosial atau konsep pemberdayaan (empowerment), biopot ini diharapkan mampu menjadi salah satu bentuk kampaye penyelamatan lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat, dan sekaligus alternatif mata pencaharian untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan.(klhk)
The post Biopot, Kurangi Sampah Plastik dan Potensial untuk Pemberdayaan Masyarakat appeared first on LIPUTAN.CO.ID.
Komentar