Fadli Zon: Sejak Indonesia Merdeka, Inilah Rekor Utang Tertinggi

Ragam65 Dilihat

Jakarta, liputan.co.id – Wakil Ketua DPR RI DR Fadli Zon mengkritisi tata kelola anggaran dan utang pada laporan nota Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 dari pemerintah ke Dewan.

Masalahnya kata Fadli, pada 19 Mei 2017, dalam penjelasan mengenai kerangka ekonomi dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah menyampaikan defisit anggaran hanya akan mencapai Rp 330,2 triliun, atau 2,42 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Anehnya, belum berselang dua bulan, pada naskah RAPBN-P 2017 pekan lalu, proyeksi defisit itu berubah drastis menjadi Rp 397,2 triliun, atau mencapai 2,92 persen terhadap PDB,” kata Fadli di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (12/7/2017).

Selisih proyeksi defisit Rp 67 triliun lanjutnya, bukan angka yang kecil. Dalam tempo kurang dari dua bulan kata Fadli, terjadi perhitungan yang cepat sekali.

“Lebih aneh lagi, meskipun proyeksi defisit tahun 2017 berubah drastis, namun proyeksi defisit 2018-2020 dalam nota APBN-P ternyata tetap dipertahankan. Logisnya kan harusnya ikut berubah. Kita jadi bertanya mengenai kredibilitas penyusunan anggaran ini,” tegas Fadli.

Meningkatnya defisit pada APBNP 2017 menjadi 2,92 persen, tentu akan ditutup dengan utang sehingga tambahan utang baru pasti lebih besar dari defisit, karena selalu disertai tambahan rencana investasi yang dibiayai utang. Inilah yang menurut Fadli, telah membuat jumlah utang pemerintah terus membesar.

“Dalam catatan saya, selama 2,5 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, utang Indonesia telah bertambah Rp 1.062 triliun. Pertambahan ini hampir sama dengan pertambahan jumlah utang periode kedua pemerintahan Presiden SBY, yang pada 2009-2014 mencapai Rp 1.019 triliun. Artinya, pertumbuhan utang pemerintah saat ini bisa dikatakan luar biasa. Sejak Indonesia merdeka, inilah rekor utang tertinggi,” tegas Fadli.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra menjelaskan, pada akhir 2014, utang Indonesia tercatat masih Rp 2.604,93 triliun. Tapi pada akhir Mei 2017 lalu, jumlahnya telah menyentuh Rp 3.672,33 triliun. Di tengah defisit anggaran yang kian membesar, utang yang akan jatuh tempo pada 2018 dan 2019 jumlahnya juga cukup besar, masing-masing mencapai Rp 390 triliun dan Rp 420 triliun.

“Itu baru menghitung utang jatuh tempo, belum lagi dihitung pembayaran bunga utang tiap tahun. Sebagai gambaran, bunga yang dibayar pada 2016 sebesar Rp 182,8 triliun. Pada 2017 ini, pembayaran bunga dianggarkan sebesar Rp 221,2 triliun. Bisa dibayangkan tingginya beban utang,” jelasnya.

Karena itu, wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat ini menyayangkan sikap pemerintah selama ini yang menutup-nutupi pertumbuhan luar biasa utang dengan dalih rasionya terhadap PDB masih kurang dari 30 persen.

“Selama ini, rasio utang terhadap PDB memang masih bergerak pada level 27-28 persen. Namun, membandingkan utang dengan PDB bisa manipulatif, karena mestinya jumlah utang pemerintah dibandingkan dengan pendapatan pemerintah sendiri, bukan terhadap PDB,” ujarnya.

Menurut Fadli, PDB menggambarkan pendapatan total seluruh pelaku ekonomi di suatu negara, mulai dari pemerintah, masyarakat, swasta, hingga orang asing. Karena itu, nilai PDB tak mencerminkan pendapatan asli pemerintah. Apalagi rasio pajak Indonesia terhadap PDB juga tergolong kecil, hanya berada pada kisaran 11 persen. Sehingga, membandingkan utang dengan PDB bisa manipulatif, karena tak menggambarkan kemampuan riil perekonomian Indonesia. Harusnya utang dibandingkan terhadap pendapatan pemerintah sebagaimana tercantum dalam APBN.

“Dibandingkan, pada 2012 rasio pendapatan nasional terhadap total utang kita masih berada di angka 67,6 persen. Namun pada 2017, rasionya tinggal 43,6 persen. Rasio pendapatan terhadap utang terus-menerus turun. Ini mestinya dijadikan acuan oleh pemerintah dalam merancang kebijakan pembangunan,” saran Fadli.

Ironisnya, meski situasi anggaran saat ini sebenarnya mencemaskan, tapi politikus berdarah Minang itu belum melihat pemerintah telah dan akan mengevaluasi secara serius proyek pembangunan infrastruktur yang saat ini telah terbukti banyak mangkrak karena ketiadaan anggaran.

“Dulu, pemerintahan SBY berutang karena kondisi fiskal tertekan akibat aneka beban subsidi, mulai dari BBM, listrik dan lain-lain. Agak lucu, sesudah pemerintah mencabut berbagai subsidi, kita masih saja harus menambah utang karena kegagalan pemerintah mengelola dan membuat prioritas belanja anggaran,” pungkasnya. (zul)